Hermanto Harun
Seperti tak sadar, euforia bola menggetarkan naluri kebangsaan yang mungkin selama ini nyaris sirna. Sorak sorai kemenangan menghibur sudut sesak kegelisahan seketika. Lagu Garuda menggema mengaburkan penat, letih dan putus asa. Gelora Bung Karno membahana oleh merahnya luatan atribut bangsa dengan simbol Negara di dada.
Garuda! Meskipun saat ini kau belum mengalungkan juara, tapi tegap lehermu masih menjadi punggah optimisme generasi muda. Walaupun kau sempat terhunyuk di kandang di negeri tetangga, tapi tatapan mata mu masih tetap bermakna sejuta asa. Engas nafas mu saat kekelahan masih menyimpan semangat yang menyala. Kucur keringat yang membasahi rupamu, selalu sealir bersama lantunan bait-bait doa dari anak pertiwi sepanjang masa.
Garuda! Bentangan sayap mu yang tak pernah kuncup itu adalah mimpi ribuan pengemis, bahwa negeri ini masih ada. Duri-duri ekormu seolah senjata penggawa rakyat jelata yang siap membela dan berkorban untukmu dimana saja. Cakar kakimu dengan kukunya gagah itu, seakan sedang menakutkan orang, kelompok dan bahkan negara yang menginginkan kau terhina.
Garuda! Walau kau kadang capai terbang, karena ulah penunggangmu yang nista. Membebanimu dengan perilaku picik, dan menunutun mu dengan politik citra. Membuntal kakimu dengan akar retorika walau harus membunuh rakyatnya yang papa. Para penunggangmu bergelimang harta, berkecamuk merebut kursi istana dan kadang bermesra dengan wanita juwita.
Sementara, mereka yang berkorban untuk mu, rela mati dalam antri tiket untuk menyaksikan lagamu, dan berswadaya membentangkan spanduk wajahmu, hanyalah mangsa. Penunggangmu tidur beralas kasur, sementara penyokongmu berbalut lumpur. Penunggangmu berkenderaan mewah, sementara penyokongmu berjalan dengan tapak lelah. Penunggangmu menyantap makanan lezat, sementara penyokongmu berebut daging kurban hingga sekarat. Penunggangmu mempunyai rumah bertingkat, sementara penyokongmu menghuni ramah seperti lahat.
Tapi Garuda! Gemuruh nyanyian namamu menyimpan makna, bahwa anak negerimu masih tetap mempunyai cinta. Lirik syairmu seperti semilir air yang masih mengalir menuju telaga naluri rakyatmu yang jelata. Bahkan, suara lagu mu masih mampu mengalirkan syahdu melinangkan air mata. Warna kostum spportermu yang merah, melambangkan nadi dan darah, yang pantang menyerah, maskipun dalam keadaan kalah.
Garuda! Tetap lah berlaga dengan penuh wibawa. Kau menang, walaupun belum juara. penggawamu tetap akan mengabdi, sampai ke titik nadir harga diri. Dari Markus sampai Nasuha, Irfan, Ridwan, Bambang, Okto, Ongki, Arif, Gonzaless, Bustomy sampai Firman Utina. Kami yakin kalian Bisa.
Garuda! Jangan hentikan langkahmu walau setapak, karena kipas sayapmu masih pantas mengepak, selama angin masih berhembus menghalau ombak. Salam cinta dan banggaku kepada Garuda yang pantang di gertak. Wallahu’alam.
Kontemplasi di Hentian Kajang, 44-2b, Kajang Selangor. 30-12-2010.
Seperti tak sadar, euforia bola menggetarkan naluri kebangsaan yang mungkin selama ini nyaris sirna. Sorak sorai kemenangan menghibur sudut sesak kegelisahan seketika. Lagu Garuda menggema mengaburkan penat, letih dan putus asa. Gelora Bung Karno membahana oleh merahnya luatan atribut bangsa dengan simbol Negara di dada.
Garuda! Meskipun saat ini kau belum mengalungkan juara, tapi tegap lehermu masih menjadi punggah optimisme generasi muda. Walaupun kau sempat terhunyuk di kandang di negeri tetangga, tapi tatapan mata mu masih tetap bermakna sejuta asa. Engas nafas mu saat kekelahan masih menyimpan semangat yang menyala. Kucur keringat yang membasahi rupamu, selalu sealir bersama lantunan bait-bait doa dari anak pertiwi sepanjang masa.
Garuda! Bentangan sayap mu yang tak pernah kuncup itu adalah mimpi ribuan pengemis, bahwa negeri ini masih ada. Duri-duri ekormu seolah senjata penggawa rakyat jelata yang siap membela dan berkorban untukmu dimana saja. Cakar kakimu dengan kukunya gagah itu, seakan sedang menakutkan orang, kelompok dan bahkan negara yang menginginkan kau terhina.
Garuda! Walau kau kadang capai terbang, karena ulah penunggangmu yang nista. Membebanimu dengan perilaku picik, dan menunutun mu dengan politik citra. Membuntal kakimu dengan akar retorika walau harus membunuh rakyatnya yang papa. Para penunggangmu bergelimang harta, berkecamuk merebut kursi istana dan kadang bermesra dengan wanita juwita.
Sementara, mereka yang berkorban untuk mu, rela mati dalam antri tiket untuk menyaksikan lagamu, dan berswadaya membentangkan spanduk wajahmu, hanyalah mangsa. Penunggangmu tidur beralas kasur, sementara penyokongmu berbalut lumpur. Penunggangmu berkenderaan mewah, sementara penyokongmu berjalan dengan tapak lelah. Penunggangmu menyantap makanan lezat, sementara penyokongmu berebut daging kurban hingga sekarat. Penunggangmu mempunyai rumah bertingkat, sementara penyokongmu menghuni ramah seperti lahat.
Tapi Garuda! Gemuruh nyanyian namamu menyimpan makna, bahwa anak negerimu masih tetap mempunyai cinta. Lirik syairmu seperti semilir air yang masih mengalir menuju telaga naluri rakyatmu yang jelata. Bahkan, suara lagu mu masih mampu mengalirkan syahdu melinangkan air mata. Warna kostum spportermu yang merah, melambangkan nadi dan darah, yang pantang menyerah, maskipun dalam keadaan kalah.
Garuda! Tetap lah berlaga dengan penuh wibawa. Kau menang, walaupun belum juara. penggawamu tetap akan mengabdi, sampai ke titik nadir harga diri. Dari Markus sampai Nasuha, Irfan, Ridwan, Bambang, Okto, Ongki, Arif, Gonzaless, Bustomy sampai Firman Utina. Kami yakin kalian Bisa.
Garuda! Jangan hentikan langkahmu walau setapak, karena kipas sayapmu masih pantas mengepak, selama angin masih berhembus menghalau ombak. Salam cinta dan banggaku kepada Garuda yang pantang di gertak. Wallahu’alam.
Kontemplasi di Hentian Kajang, 44-2b, Kajang Selangor. 30-12-2010.